Berikut adalah beberapa
Pengertian Iman:
Pengertian iman dari bahasa Arab yang artinya
percaya. Sedangkan menurut
istilah, pengertian iman adalah mengucapkan dengan lisan, membenarkan dengan hati, dan diamalkan dengan tindakan (perbuatan).
Dengan demikian, pengertian iman kepada Allah adalah membenarkan dengan
hati bahwa Allah itu benar-benar ada dengan segala sifat keagungan dan
kesempurnaanNya, kemudian pengakuan itu diikrarkan dengan lisan, serta
dibuktikan dengan amal perbuatan secara nyata.
Pengertian atau definisi iman secara bahasa menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin adalah
pengakuan yang melahirkan sikap menerima dan tunduk.
Kata beliau makna ini cocok dengan makna iman dalam istilah syari’at.
Dan beliau mengkritik orang yang memaknai iman secara bahasa hanya
sekedar pembenaran hati (tashdiq) saja tanpa ada unsur menerima dan
tunduk. Kata ’iman’ adalah fi’il lazim (kata kerja yang tidak butuh
objek), sedangkan tashdiq adalah fi’il muta’addi (butuh objek) (Lihat
Syarh Arba’in, hal. 34)
Adapun secara istilah, dalam
mendefinisikan iman manusia terbagi menjadi beragam pendapat [dikutip
dari Al Minhah Al Ilahiyah, hal. 131-132 dengan sedikit perubahan
redaksional] :
Pertama
Imam Malik, Asy Syafi’i,
Ahmad, Al Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, dan segenap ulama ahli hadits
serta ahlul Madinah (ulama Madinah) –semoga Allah merahmati mereka-
demikian juga para pengikut madzhab Zhahiriyah dan sebagian ulama
mutakallimin berpendapat bahwa definisi iman itu adalah : pembenaran
dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan. Para
ulama salaf –semoga Allah merahmati mereka- menjadikan amal termasuk
unsur keimanan. Oleh sebab itu iman bisa bertambah dan berkurang,
sebagaimana amal juga bertambah dan berkurang (lihat Kitab Tauhid li
Shaff Ats Tsaani Al ‘Aali, hal. 9).
Kedua
Banyak
di antara ulama madzhab Hanafi yang mengikuti definisi sebagaimana yang
disebutkan oleh Ath Thahawi rahimahullah yang mengatakan bahwa iman itu
pengakuan dengan lisan dan pembenaran dengan hati.
Ketiga
Ada
pula yang mengatakan bahwa pengakuan dengan lisan adalah rukun tambahan
saja dan bukan rukun asli. Inilah pendapat Abu Manshur Al Maturidi
rahimahullah, dan Abu Hanifah pun diriwayatkan memiliki sebuah pendapat
seperti ini.
Keempat
Sekte Al Karramiyah
mengatakan bahwa iman itu hanya pengakuan dengan lisan saja! Maka dari
definisi mereka ini orang-orang munafiq itu dinilai sebagai orang-orang
beriman yang sempurna keimanannya, akan tetapi menurut mereka
orang-orang munafiq itu berhak mendapatkan ancaman yang dijanjikan oleh
Allah untuk mereka! Pendapat mereka ini sangat jelas kekeliruannya.
Kelima
Jahm
bin Shafwan dan Abul Hasan Ash Shalihi –salah satu dedengkot sekte
Qadariyah- berpendapat bahwa iman itu cukup dengan pengetahuan yang ada
di dalam hati! [Dan inilah yang diyakini oleh kaum Jabariyah, lihat.
Syarh ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 163]. Pendapat ini jauh lebih jelas
kerusakannya daripada pendapat sebelumnya! Sebab kalau pendapat ini
dibenarkan maka konsekuensinya Fir’aun beserta kaumnya menjadi termasuk
golongan orang-orang yang beriman, karena mereka telah mengetahui
kebenaran Musa dan Harun ‘alaihimash sholatu was salam dan mereka tidak
mau beriman kepada keduanya. Karena itulah Musa mengatakan kepada
Fir’aun, ”Sungguh kamu telah mengetahui dengan jelas bahwa tidaklah
menurunkan itu semua melainkan Rabb pemilik langit dan bumi.” (QS. Al
Israa’ [17] : 102). Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Mereka telah
menentangnya, padahal diri mereka pun meyakininya, hal itu dikarenakan
sikap zalim dan perasaan sombong. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang melakukan kerusakan itu.” (QS. An Naml [27] : 14).
Bahkan iblis pun dalam pengertian Jahm ini juga termasuk kaum beriman
yang sempurna imannya! Karena ia tidaklah bodoh tentang Rabbnya, bahkan
dia adalah sosok yang sangat mengenal Allah (yang artinya), ”Iblis
berkata,’Rabbku, tundalah kematianku hingga hari mereka dibangkitkan
nanti.’.” (QS. Al Hijr [15] : 36). Dan hakekat kekufuran dalam pandangan
Jahm ini adalah ketidaktahuan tentang Allah ta’ala, padahal tidak ada
yang lebih bodoh tentang Rabbnya daripada dia!!
Imam
Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Iman itu meliputi perkataan dan
perbuatan. Dia bisa bertambah dan bisa berkurang. Bertambah dengan sebab
ketaatan dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.” Imam Ahmad bin Hanbal
rahimahullah berkata, “Iman bisa bertambah dan bisa berkurang. Ia
bertambah dengan melakukan amal, dan ia berkurang dengan sebab
meninggalkan amal.” (Perkataan dua orang imam ini bisa dilihat di Al
Wajiz fii ‘Aqidati Salafish shalih, hal. 101-102) Bahkan Imam Bukhari
rahimahullah mengatakan, “Aku telah bertemu dengan lebih dari seribu
orang ulama dari berbagai penjuru negeri, aku tidak pernah melihat
mereka berselisih bahwasanya iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa
bertambah dan berkurang.” (Lihat Fathul Baari, I/60)
Penjelasan definisi iman
‘Iman
itu berupa pembenaran hati’ artinya hati menerima semua ajaran yang
dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam. ‘Pengakuan dengan lisan’
artinya mengucapkan dua kalimat syahadat ‘asyhadu an la ilaha illallah
wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah’. Sedangkan ‘perbuatan dengan
anggota badan’ artinya amal hati yang berupa keyakinan-keyakinan dan
beramal dengan anggota badan yang lainnya dengan melakukan ibadah-ibadah
sesuai dengan kemampuannya (Lihat Kitab At Tauhid li Shaff Ats Tsaani
Al ‘Aali, hal. 9)
Dan salah satu pokok penting dari
aqidah Ahlus sunnah wal jama’ah ialah keyakinan bahwa iman itu bertambah
dan berkurang (Lihat Fathu Rabbbil Bariyah, hal. 102). Hal ini telah
ditunjukkan oleh dalil-dalil dari Al Kitab maupun As Sunnah. Salah satu
dalil dari Al Kitab yaitu firman Allah ta’ala (yang artinya), “Agar
bertambah keimanan mereka di atas keimanan mereka yang sudah ada.” (QS.
Al Fath [48] : 4).
Dalil dari As Sunnah di antaranya
adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sosok kaum
perempuan, ”Tidaklah aku melihat suatu kaum yang kurang akal dan
agamanya dan lebih cepat membuat hilang akal pada diri seorang lelaki
yang kuat daripada kalian ini (kaum perempuan).” (HR. Al Bukhari dan
Muslim).
Maka ayat di atas menunjukkan penetapan bahwa
iman itu bisa bertambah, sedangkan di dalam hadits tersebut terdapat
penetapan tentang berkurangnya agama. Sehingga masing-masing dalil ini
menunjukkan adanya pertambahan iman. Dan secara otomatis hal itu juga
mengandung penetapan bisa berkurangnya iman, begitu pula sebaliknya.
Sebab pertambahan dan pengurangan adalah dua hal yang tidak bisa
dipisah-pisahkan. Tidak masuk akal keberadaan salah satunya tanpa
diiringi oleh yang lainnya.
Dengan
demikian dalam pandangan ahlus sunnah definisi iman memiliki 5 karakter
: keyakinan, ucapan, amal, bisa bertambah, dan bisa berkurang. Atau
bisa diringkas menjadi 3 : keyakinan, ucapan, dan amal. Karena amal
bagian dari iman, secara otomatis iman bisa bertambah dan berkurang.
Atau bisa diringkas lebih sedikit lagi menjadi 2 : ucapan dan amal,
sebab keyakinan sudah termasuk dalam amal yaitu amal hati. Wallahu
a’lam.
Penyimpangan dalam mendefinisikan iman
Keyakinan bahwa iman bisa bertambah dan berkurang adalah aqidah yang
sudah paten, tidak bisa diutak-atik atau ditawar-tawar lagi. Meskipun
demikian, ada juga orang-orang yang menyimpang dari pemahaman yang lurus
ini. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullah menjelaskan bahwa orang-orang yang menyimpang tersebut terbagi menjadi dua kelompok yaitu : Murji’ah dan Wai’diyah.
Murji’ah tulen mengatakan bahwa iman itu cukup
dengan pengakuan di dalam hati, dan pengakuan hati itu menurut mereka
tidak bertingkat-tingkat. Sehingga menurut mereka orang yang gemar
bermaksiat (fasik) dengan orang yang salih dan taat sama saja dalam hal
iman. Menurut orang-orang Murji’ah amal bukanlah bagian dari iman.
Sehingga cukuplah iman itu dengan modal pengakuan hati dan ucapan lisan
saja. Konsekuensi pendapat mereka adalah pelaku dosa besar termasuk
orang yang imannya sempurna. Meskipun dia melakukan kemaksiatan apapun
dan meninggalkan ketaatan apapun. Madzhab mereka ini merupakan kebalikan
dari madzhab Khawarij. (lihat
Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 161-163,
Syarh ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 162).
Wa’idiyah yaitu kaum
Mu’tazilah [Mereka
adalah para pengikut Washil bin ‘Atha’ yang beri’tizal (menyempal) dari
majelis pengajian Hasan Al Bashri. Dia menyatakan bahwa orang yang
melakukan dosa besar itu di dunia dihukumi sebagai orang yang berada di
antara dua posisi (
manzilah baina manzilatain), tidak kafir
tapi juga tidak beriman. Akan tetapi menurutnya di akherat mereka
akhirnya juga akan kekal di dalam Neraka, lihat
Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 161-163]
dan Khawarij mengatakan
bahwa pelaku dosa besar telah keluar dari lingkaran iman. Mereka
mengatakan bahwa iman itu kalau ada maka ada seluruhnya dan kalau hilang
maka hilang seluruhnya. Mereka menolak keyakinan bahwa iman itu
bertingkat-tingkat. Orang-orang Mu’tazilah dan Khawarij berpendapat
bahwa iman itu adalah : pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan,
dan amal dengan anggota badan, akan tetapi iman tidak bertambah dan
tidak berkurang (lihat
Thariqul wushul ila idhahi Tsalatsati Ushul, hal. 169). Sehingga orang Mu’tazilah menganggap semua amal adalah syarat sah iman (lihat catatan kaki
Al Minhah Al Ilahiyah, hal. 133). Dengan kata lain, menurut mereka pelaku dosa besar keluar dari Islam dan kekal di neraka (lihat
Syarh ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 163).
Kedua kelompok ini sudah jelas terbukti kekeliruannya baik dengan
dalil wahyu maupun dalil akal. Adapun wahyu, maka dalil-dalil yang
menunjukkan bertambah dan berkurangnya iman sudah disebutkan… (Lebih
lengkap lihat
Fathu Rabbil Bariyah, hal. 103-104).
Pengertian Iman
—
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
sumber : muslim.or.id